Menjadi Pendengar Yang Baik? Bagaimana Komunikasi Yang Baik?
Nggak bisa dipungkiri bahwa komunikasi merupakan hal yang
sangat penting bagi kita sesama manusia untuk bisa mengenali dan memahami satu
sama lain. Siapa sih yang nggak pengen jadi orang yang bisa berkomunikasi
dengan baik? Bisa memahami arahan, public
speaking yang bagus, nyaman untuk diajak berdiskusi.
Karena aku termasuk orang yang introvert (menurut aku) aku
cenderung males buat bersosialisasi. Sewaktu kecil (SMP), aku pernah membaca sebuah buku
yang aku lupa judulnya apa, tapi intinya dalam buku itu berisi beberapa tatacara
untuk dapat mengambil hati lawan bicara, tips-tips berkomunikasi dengan baik, tips
menjawab pertanyaan saat wawancara dan lain-lain semacam itu lah. Salah satu
hal yang paling aku inget dari tips-tips yang ada di buku itu adalah, jangan
terlalu banyak berkata “AKU” tapi
perbanyaklah berkata “KAMU”.
Lalu apa maksud dari hal tersebut?
Maksudnya, jangan melulu membahas diri kita sendiri. Saat
seorang lawan bicara menceritakan tentang dirinya, dengarkan dulu dan jangan
langsung membandingkan dengan diri sendiri . misalnya ketika dia membicarakan “pada saat liburan aku menghabiskan waktu dengan magang”. Daripada menjawab “kalau aku menghabiskan liburan dengan
kerja part time” lebih baik kita membalas “ oh yaa? Bagaimana magangnya? Adakah sesuatu yang menarik untuk
diceritakan?”
Dalam buku dijelaskan bahwa kita juga harus lebih banyak
bertanya mengenai lawan bicara kita, misalnya “bagaimana harimu?”, “apakah kamu menyukai ini?”, “ bagaimana pendapatmu mengenai ini?” Daripada
membuka pembicaraan dengan menjelaskan diri sendiri. Karena dengan begitu lawan
bicara akan merasa dihargai oleh kita dan akan tertarik untuk menjelaskan
dirinya kepada kita. Karena pada fitrahnya orang normal akan senang bila
didengarkan.
Bila kita terlalu banyak membahas diri sendiri maka kita akan
menjadi orang yang membosankan. Karena lawan bicara merasa tidak membutuhkan
informasi tersebut serta tidak pula ingin tahu, Pada akhirnya lawan bicara hanya
berbasa-basi saja untuk menghormati kita. Percakapan seperti itu akan cepat selesai
dan tidak nyaman. Serta satu hal lagi yang perlu diingat adalah saat berbicara
kita harus menatap mata lawan bicara kita.
Setelah membaca buku tersebut, aku memulai menerapkan
satu-persatu tips-tips yang ada di dalam buku. Mencoba sebaik mungkin menjadi
pendengar yang baik. Yang selalu berkata kamu, kamu, dan kamu, serta
menghindari berkata aku. Hal ini cukup berhasil
karena banyak teman yang bilang kalau aku adalah orang yang enak buat di
curhatin. Di awal-awal memang seru mendengarkan cerita mereka semua, tapi
semakin kesini semakin jenuh. Dalam hati sering sekali aku membandingkan
curhatan mereka yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan diriku. Selalu
merasa malas untuk menanggapi permasalahan mereka yang tidak berdampak padaku
sama sekali. Mengetik quotes bijak, hahaha, wkwkwk, dengan muka datar. Mengirim
emotikon palsu hanya sebagai pemanis. Berpura pura tersenyum dan tertarik pada
bahasan bila di depan mereka. Bagitu terus kulakukan. Walau ini efektif untuk
membuat orang nyaman berkomunikasi dengan kita tetapi ketidaknyamanan itu
justru berpindah ke diriku sendiri. Dan aku merasa menjadi orang yang munafik.
Hal itu aku ingat-ingat dan selalu aku terapkan dalam
berkomunikasi, sampai sekarang aku sudah berkuliah semester 1 di salah satu
Universitas di Yogyakarta. Disini aku bertemu dengan lebih banyak orang dengan
karakter yang bervariasi dan jauh lebih heterogen dibandingkan saat di bangku
SMA dan SMP. Setelah berjalan setengah semester akhirnya aku memiliki teman
dekat seorang perempuan bernama Ana. Dengan bertemunya aku dan Ana ini kemudian
mejadi titik balik dari diriku sendiri.
Ana selalu menceritakan tentang masalahnya, apapun itu dia
ceritakan. Kita cukup dekat. Dia sangat asik dan memiliki banyak sekali teman
disisinya. Dia sering berkonsultasi kepadaku, meminta solusi, meminta
pembenaran atau apapun itu. Dan aku masih menerapkan prinsipku untuk tidak
terlalu banyak menceritakan tentang diriku, sampai suatu hari setelah dia
“sambat” kepadaku tiba-tiba dia berkata, “sekarang
gantian kamu yang cerita, aku terus yang cerita”. Tentu saja aku menjawab “aku nggak punya cerita, nggak asik”
begitu terus selama beberapa hari. Dia juga selalu bilang “Ril, kamu tu ada masalah apa to? Mbok cerita”. Pernah dia berkata
kepadaku “Ril, aku tahu orang dewasa
nggak pernah menceritakan masalahnya ke orang lain tapi aku mohon ceritakan ke
satu orang saja, keluarin jangan dipendem sendiri” Setelah itu dia jadi
sedikit membatasi curhatan yang dia sampaikan ke aku, dan jadi sering bilang “udahhh gitu tok ceritaku. Maaf aku
membuang waktumu” di akhir curhatannya. Tentunya itu malah membuat aku
kepikiran, karena aku memang tidak memiliki masalah berat apaun, apa yang perlu
diceritakan? Mengapa dia bisa berasumsi aku memiliki masalah itu hanya karena
aku tidak pernah menceritakan kehidupanku? Apakah prinsip yang selama ini aku
terapkan sudah tidak efektif? Seharusnya dia merasa nyaman dengan menceritakan
semua keluh kesahnya. Hanya dia dia dan dia tanpa ada bahasan tentangku.
Temanku ini adalah salah satu spesies yang unik dan tidak pernah aku temukan
dimanapun. Yang lain asik terus membicarakan dirinya bertubi-tubi sementara dia
sangat memikirkan perasaan orang lain. She
has such a pure hearth :)
Setelah beberapa hari, Ana memintamaaf kepadaku. “Ril, maaf ya kalau aku mengganggu kamu
dengan semua curhatanku, kalo aku mengganggu kamu , kamu bilang aja. Aku pernah
kok di curhatin temen SMA ku dan dia mengganggu banget, akhirnya aku tegur
langsung. Aku bilang kalau dia menggangu. Habis itu dia udah nggak pernah
curhat ke aku lagi. Gakpapa kok untuk bilang tidak” Setelah mendengar ini autoshock dong. Aku jadi mempertanyakan
keefektifan prinsip “ke-KAMUan” yang selama ini aku pegang. Padahal selama ini
aku senang-senang saja mendengarkan ceritanya karena Ana ini sangat seru.
Setelah kejadian ini berangsur-angsur aku mulai bisa
menceritakan berbagai problemku kepada Ana. Meminta solusi dan pertimbangan,
mengakui sesuatu yang dari dulu tidak pernah aku iya kan. Percakapan dua arah
ternyata seru juga, begitu pikirku. Bukan hanya aku, Ana pun bilang bahwa
pembicaraan kita sangat seru, “dari
kemaren cuman ngomongin aku mulu, sekarang kita melebar ya bahasannya. Ini
terlalu seru”. Setelah itu aku mulai mengambil kesimpulan bahwa bahkan
dalam suatu penelitian dengan taraf keyakinan 99% pun, masih ada 1 %
kemungkinan untuk tidak berhasil. Dan mungkin temanku ini adalah salah satu
spesies yang masuk dalam 1% ini. Sama juga dengan hipotesis prinsip ku. Pasti
tetap memiliki cela dan tidak bisa diterapkan kepada 100% orang. Tetapi yang
lebih penting yang kudapat dari Ana, dengan kita menceritakan mengenai diri
kita ke orang lain, maka orang tersebut juga akan merasa bahwa kita mempercayai
mereka dan merasa diri mereka cukup penting untuk dapat diberi tahu mengenai
informasi tersebut,sehingga ikatan pertemananjuga akan semakin kuat.
LOH JADI TERBALIK DENGAN HIPOTESIS AWAL KAN??? ANEH MEMANG.
Tapi yang terpenting adalah jadi diri sendiri, prioritaskan
diri sendiri lebih dari apapun. dan jangan ragu untuk bilang tidak.
soooo gaje but thankyou....! :)
Komentar
Posting Komentar